Pada suatu sore, saya
bercerita dengan ayah saya mengenai beliau waktu muda. Berhembusnya angin sore
yang begitu indah menggoyangkan dedaunan menambah sedap suasana yang kala itu
kami ditemani secangkir teh dan pisang goreng yang sebelumnya ku goreng
sendiri. Angin sore semakin sering menyapa kami, dan akhirnya aku pun
menanyakan sesuatu..
“Yahh, kenapa ayah orangnya
begitu gampang marah...??” tanyaku polos.
“Ini jauh lebih baik dari pada
ayah yang dulu, tanyakkan aja sama Uneng-mu (sebutan untuk bibi) gimana ayah
dulu.” Jawab ayahku sambil tersenyum.
Tiba-tiba sii Uneng lewat, dan
akupun menanyakan hal yang aku tanyakan kepada ayahku tadii, namun Uneng hanya
tersenyum kecil menandai bahwa ayahku lebih parah dari pada beliau yang
sekarang.
“Gimana...?? dahh tauu
jawabannya kann....??” tanya ayahku enteng.
“Terus apa yang membuat ayah
tidak separah dulu...??”ucapku, berbalik bertanya.
“Kakekmu memberikan ayah
pengajaran yang tak dapat ayah lupakan sampai sekarang..” jawab ayahku sambil
membayangkan apa yang dirasakannya kala itu.
“Apa yang diajarkan kakek
yah..??” tanyaku semakin penasaran.
“Ayah bertanya kepada kakek,
“yah gimana cara menghilangkan kebiasaan burukku ini..??” gitu lahh kurang
lebih..”
“Terus apa kata kakek yahh...??”
tanyaku lagi.
“Kakek memberikan sekantung
paku dan berkata “pakukanlahh paku-paku ini dipagar belakang rumah, setiap
amarahmu bergejolak..!!”, ayahpun menuruti saran kakekmu.” Jawab ayahku yang
semakin teringat dengan masa lalu yang tak terlupakan itu.
“Apa yang terjadi abiss itu
yah...??” tanyaku dengan penuh semangat.
“Pada hari pertama ayah
memakukan 37 paku, dipagar belakang rumah.” Kata ayahku dengan tertawa kecil.
“Tapi semakin hari semakin
berkurang paku yang ayah pakukan kepagar belakang rumah itu.” Lanjutnya, dan
aku masih terperangah mendengar 37 paku yang beliau tancapkan di hari pertama.
“Sampeklah suatu hari ayah
merasa amarah ayah begitu terkendali dan kesabaran ayah tidak mudah habis.”
Imbuhnya lagii.
“Ayah bilang hal itu sama kakek..??”
tanyaku yang semakin dan semakin penasaran.
“yaa.. kakekmu pun berkata
“cabutlah paku-paku yang udahh kau pakukan dipagar itu, di hari dimana kau tak
merasakan amarah muu...!” dan ayahpun tertegun, namun akhirnya tetap ayah
laksanakan.” Jawab ayahku.
“abis ntu, gimanaa...??”
tanyaku enteng.
“hari demi hari berlalu,
akhirnya sampailah pas paku-paku dah tercabut semua..” jawab ayahku sambil
tersenyum.
“biar awak tebak, ayah bilang
ke kakek kan...??” kataku polos.
“yaa.. kakek mu berkata satu
statement yang benar-benar tak terlupakan..” kata ayahkuu.
“apa kata kakek yahh...??”
tanyaku menggebu-gebu.
“Kau dah berhasil, tapi lihatlah lubang yang timbul akibat paku yang
kamu pakukan. Keadaan pagar ini takkan kembali seperti semula.” Kata ayahku
yang mengatakan perkataan kakek kala itu.
“Apa yang spesial dari
statement itu...??” tanyaku bingung.
“Pas kau bertindak dengan
amarahmu, mengatakan sesuatu kepada orang lain dengan amarahmu, perbuatanmu,
perkataanmu akan membekas dihatinya seperti seperti lubang yang kau buat di
pagar itu.” Kata ayahku menjelaskan perlahan.
“Sama halnya dengan kau
menusukkan pisau pada seseorang, lalu kau cabut. Tak peduli berapa kali kau
meminta maaf, luka itu akan tetap ada.” Imbuhnya lagi..
Akhirnya tanpa terasa senja sudah
semakin tampak, matahari pun perlahan kembali ke peraduannya juga dengan teh
beserta gorengan kami, sudah habis beriringan dengan usainya obrolan dikala
senja itu..
Hati-hati dengan perkataanmu, karena apabila perkataanmu sampai
menyakiti orang lain, maka itu sama buruknya dengan luka fisik..
-My Dad-
0 comments:
Post a Comment