Ketika sedang mengisi liburan disebuah pedesaan ditepi
kota kampung halaman saya, saya menghampiri ayah saya dengan grlagat sedang
mendapatkan banyak masalah. Langkahku
yang gontai, raut wajah yang ruwet, dan sangat terlihat jelas bahwa aku sedang
tak bahagia.
Aku pun langsung duduk dihadapannya, dan bercerita
tentang semua masalahku. Tingkah lakunya yang cuek dan seakan mengabaikan aku
yang sedang menceritakan masalahku. Setelah aku selesai menceritakan masalahku,
dia memerintahkanku untuk mengambil sebuah garam, segelas air putih dan sebuah
sendok.
“Sekarang, masukkan garam itu kedalam segelas air yang
telah kau ambil tadi, kemudian aduklah perlahan sampai tak ada lagi garam yang
tersisa.” Kata Ayahku, dan tanpa pikir panjang aku langsung mengerjakan apa
yang diperintahkannya.
“Setelah itu, coba sekarang kau minum dan kemudian
katakan pada ayah, bagaimana rasanya..!” Lanjut ayahku lagi.
“Pahit agak asin yah..!” Kataku sambil meludah kesamping.
Ayahku yang sedikit tertawa kemudian menyuruhku untuk
mengambil segenggam garam lagi dan kemudian mengajakku ke sebuah telaga yang
indah didekat rumah dimana kami menetap sementara.
“Sekarang taburkan garam itu disini..!” Kata Ayahku
sambil mengambil sebuah kayu yang kemdian digunakannya untuk mengaduk garam
yang kutaburkan.
“Coba sekarang kau ambil air itu, dan tenggaklah kemudian
katakanlah kepada ayah, apa yang kau rasakan..!” Sambung Ayahku lagi.
“Segar dan dingin..!” Jawabku girang.
“Adakah kau merasakan garam yang tadi kau taburkan..?”
Tanya Ayahku.
“Tidak ada sama sekali, justru sangat segar.” Kataku
sambil meminum air dari telaga itu sekali lagi.
“Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak
kurang tak lebih. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan mereka akan tetap
sama dan terus sama.” Kata Ayahku.
“Kemudian, hubungannya dengan masalahku tadi...??”
Tanyaku semangat.
“Kepahitan yang kau rasakan sangat bergantung dari wadah
apa yang kau miliki.Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan yang merupakan
tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua bergantung pada hati kita, Ketika
kau merasakan pahitnya kehidupan dan kegagalan maka lapangkanlah dadamu dalam
menerima semua yang telah terjadi, dan luaskanlah hatimu untuk menampung setiap
detil dari kepahitan itu.” Kata Ayahku menjawab pertanyaanku.
“Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu, adalah tempat itu.
Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu itu
seperti gelas, buatlah hatimu itu laksana sebuah telaga sejuk yang dapat
meredam setiap kepahitan itu dan kemudian merubahnya menjadi kedegaran dan
sebuah senyuman yang selalu hinggap diwajahmu.” Lanjut ayahku memperjelas apa
yang dikatakan olehnya sebelumnya.
Kami pun beranjak dari telaga itu menuju rumah. Tiba
dirumah ibuku sudah didepan rumah kemudian merepetiku karena garamnya berkurang
banyak. Ibuku menerima ‘laporan’ dari adikku yang mengadukan bahwa akulah yang
mengambil garamnya. Ayahku hanya tertawa, dan merasa ahwa dia sama sekali tak
ada kaitannya dengan kejadian itu..
0 comments:
Post a Comment